...................(lanjutan)
Menurut Seyyed Husein Nasr, prinsip
unitas (At Tauhid) sangat penting dalam
arsitektur Islam. Masih menurut beliau, unitas terlihat pada cara berarsitektur
Islam memperlakukan eksterior, ruang-ruang interior & pertamanan bangunan.
Dalam arsitektur Islam, ketiganya merupakan faset dari satu realitas tunggal.4 Pada Masjid At Tin diterapkan prinsip unitas
tersebut. Pada masjid ini, ada 2 modul dasar utama yang diulang-ulang pada
setiap detail sudut masjid yaitu persegi dan bintang. Sebagai contoh, modul
persegi yang merupakan modul awal dari modul anak panah yang banyak terlihat
pada At Tin, jika diperhatikan secara seksama, akan terlihat pada detail
bangunan seperti pintu utama, dinding-dinding eksterior maupun interior,
penopang pergola, atap selasar terbuka. Sementara itu, modul persegi ini jika
terbentuk oleh 2 persegi dan satu persegi diputar 45º, maka akan tercipta modul turunan yaitu
modul bintang sederhana yang terdapat pada skylight kaca patri di atas sclupture menuju RSG, plafon, menara,
pola lantai selasar terbuka, dll. Modul persegi yang belum mengalami penurunan
dari modul awal pun terdapat pada bentuk denah ruang shalat, kap lampu depan
ruang wudhu, list plafon, dll. Selain persegi, modul bintang yang lebih
kompleks terdapat pada lampu taman maupun interior, railing, kap lampu gantung,
kaca patri, pola lantai. Terbukti bahwa bangunan ini telah menerapkan kesatuan
dalam memperlakukan ruang eksterior, interior, maupun pertamanan dengan
kekonsistenan modulnya. Walaupun pada AR modern ruang-ruang tersebut didesain
oleh manusia dengan spesialisasi menurut bidangnya masing-masing (desainer
lanskap, desainer interior) namun, pada proyek bangunan ini, walaupun banyak
spesialis, kerja sama yang baik diantaranya dapat membentuk bangunan yang
mempunyai unitas.
Prinsip unitas juga terlihat dari
kemajemukan fungsi 4. Maksudnya, dalam satu bangunan, fungsi dan
kegiatan yang dilakukan di dalamnya dapat bermacam-macam.Sementara itu, dalam
arsitektur modern, fungsi harus terdefinisi lebih dahulu, baru kemudian
bangunan dibuat sesuai fungsinya. Jika menilik masjid At Tin, jelas bahwa
masjid ini diterjemahkan dari klien yang ingin membangun bangunan berfungsi
utama sebagai tempat shalat, mengikuti arsitektur modern, fungsi harus jelas.
Namun pada kenyataannya, fungsi tersebut berkembang dan menjadi majemuk.
Bangunan ini selain digunakan sebagai tempat shalat, ruang shalatnya saja
digunakan sebagai tempat berdiskusi, membedah buku Islam, dan lainnya,
tergantung kebutuhan. Sementara selasar yang mengitarinya, digunakan untuk
bekerja dengan laptop, duduk-duduk menunggu adzan, bahkan tidur, walaupun dalam
masjid ini ada larangan tidur dalam masjid. Selain selasar, pada At Tin juga
terdapat RSG & perpustakaan. RSG sering digunakan untuk mengadakan pesta
pernikahan, setelah pelaksanaan akad nikah di ruang shalat. Karena keunikan
arsitekturalnya dan lokasinya yang strategis disamping jalan utama, maka masjid ini juga dapat berfungsi sebagai
icon bagi daerah sekitar & menjadi tempat hunting foto untuk fotografer. Selain itu, banyak sekali fungsi
turunan dari masjid ini. Maka prinsip unitas dilihat dari kemajemukan fungsi
terpenuhi okleh At Tin.
Unitas pun, menurut Nasr, berkaitan
dengan perkawinan keindahan & fungsi atau utilitas yang demikian khas bagi
semua seni Islam (termasuk arsitektur), seperti adanya hadits bahwa Allah itu
indah dan mencintai keindahan. Namun,jika indahnya berlebihan, sudah
melupakan ajaran metafisikal yang paling fundamental dari Al Quran dan hadits. 4
Unitas merupakan kesatuan dari estetika dan fungsi. Allah SWT menyukai
keindahan yang berada di tengah-tengah, seimbang, sesuai dengan kemampuan &
kebutuhan dan tidak berlebihan sehingga menjadi mubazair. Lalu bagaimana dengan
masjid At Tin ini? Mayoritas orang yang sudah pernah mengunjunginya,
majalah-majalah dan penelusuran internet akan mengatakan bahwa masjid tersebut
memiliki tingkat estetika yang baik, dilihat dari keterpaduan ornamen, space frame yang memasukkan cahaya ke
dalam bangunan dengan mengagumkan, kayu jati yang diukir sedemikian rupa, dll.
Apakah estetika pada masjid ini sudah berlebihan & tidak sesuai dengan
syariat? Mengenai hal tersebut, Fauzan Noe’man selaku Arsitek proyek dalam
pendesainan masjid At Tin berujar,
‘Kemubaziran adalah hal yang sangat dihindari dalam pendesainan masjid karena
akan mengarah ke riya, maka setiap perancangan haruslah disesuaikan dengan
kemampuan, namun yang harus diingat nilai kemampuan tiap zaman dan tiap orang
berbeda, ini harus dilihat sebagai sebuah kondisi progresif yang positif.’1
Menurut beliau, perancangan memang harus sesuai kemampuan dan tidak boleh
mubazir, tetapi kita juga harus melihat bahwa parameter mampu pada tiap zaman
dan owner dapat berbeda-beda. Misalkan, Masjid Salman ITB, dengan arsitek
prinsipal yang sama dengan Masjid At Tin, Masjid Salman hadir dalam kondisi dan
pemilik modal yang berbeda dengan At Tin. Salman dibangun sebagai masjid kampus
yang pada kondisi waktu itu Indonesia sedang mengalami masa krisis sehingga
tampilannya pun sederhana & tentu
tidak menggunakan budget sebesar At Tin yang dimiliki oleh seorang
mantan pembesar negara. Juga menurut Bapak Achmad Noe’man, ‘Satu hal lain adalah masalah estetis. Islam mengajarkan bahwa
sesungguhnya Allah menyukai keindahan hingga kita tidak perlu takut membuat
sebuah mesjid yang indah sepanjang itu tidak mubazir, riya dan membuat
takabbur.’1 Dari pemaparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa estetika
pada Masjid At Tin tersebut masih dalam batas kewajaran dan tidak terlalu
berlebihan mengingat owner sangat berkecukupan, maka tidak ada salahnya untuk
membangun sebuah masjid yang karena estetikanya juga berfungsi sebagai salah
satu icon arsitektur Islam di Indonesia untuk menumbuhkan kebanggaan umat akan
karya arsitektur bagi masyarakat muslim. Selain itu, walaupun berdetail banyak
ornamen, sebenarnya masjid At Tin juga memikirkan keefisienan ruang dan energi.
Sebagai contoh, pemanfaatan ruang secara maksimal dapat dilihat di bawah tangga
utama masjid yang dijadikan laci penyimpanan dan sebagian digunakan sebagai selasar.
Banyaknya bukaan pada setiap ruangannya juga memungkinkan untuk tidak memakai
penghawaan buatan, namun pengunjung tetap merasa nyaman berada di dalamnya.
Lagipula, detail- detail obek berornamen kesemuanya mempunyai fungsi bagi
bangunan tersebut yaitu sebagai penerangan, akses masuk, dll.
Selain prinsip unitas, menurut Sayyed
Husein Nasr, dalam arsitektur Islam juga terdapat prinsip realisme yang
mengandalkan sudut pandang yang memandang setiap realitas wujud pada
tingkatannya sendiri & sebagaimana mereka adanya. Maka prinsip tersebut
memperlakukan bahan sebagaimana adanya, bukan sebagai apa tampaknya.4
Berkaitan dengan teori tersebut, mengenai At Tin, Bapak Achmad Noe’man pun
mengatakan,’Keindahan dapat muncul dari
kejujuran. Urat-urat pada kayu jati merupakan contoh kejujuran bahan sebagai
keindahan alam. Begitu juga dengan cahaya yang diciptakan Allah. Bisakah Anda
bayangkan sebuah karya arsitektur tanpa cahaya?’ 1. Objek-objek
yang terdapat pada Masjid At Tin, walaupun diulik & diberi banyak ornamen, banyak
diantaranya yang masih memegang keindahan dalam kejujuran. Sebagai contoh,
menurut Bapak Noe’man, bahan pintu utama yang menggunakan kayu jati, walaupun
diulik, urat-uratnya, warna coklat kayu masih dapat dirasakan sebagai kejujuran.
Pemberian ornamen cungkil pada kayu tersebut bisa menjadi sebuah kejujuran lain
bahwa pemanfaatan karakter kayu dengan dicungkil, bukan di las seperti karakter
baja. Space frame yang terlihat dari ruang interior juga merupakan salah satu
bentuk kejujuran. Profil baja sangat terlihat di sana, begitu juga cahaya yang
dibiarkan masuk melewati kaca patri pada space frame maupun skylight di tempat
lain pada bangunan tersebut, menampakkan kejujuran cahaya yang berganti-ganti
arah tergantung dari arah matahari.
Prinsip ketiga menurut Nasr adalah
kesatupaduan dengan tataan alami. Masjid bukan ruang suci yang terpisah dari
ruang alam, tetapi adalah ke arah lingkungan buatan manusia. Arsitektur Islam
memanfaatkan sepenuhnya cahaya dan bayangan, kehangatan dan kesejukan, angin
dan sirkulasi, air dan efek penyejukan, dan tanah.4
Karya arsitektur harus bersatu dan
dapat berbaur dengan keadaan alam di sekelilingnya. Mengenai cahaya dan
bayangan, telah disebutkan sebelumnya. Pendesainan At Tin sangat peka terhadap
cahaya. Kehangatan dan kesejukan dari desain At Tin dapat dicermati dengan
bangunan ruang shalat yang lebih tertutup, terlindungi, dan cahaya pada space
frame dan relung-relung pintu membuat ruangan terasa hangat namun tetap sejuk,
sementara, makin ke sisi luar, lebih terbuka sehingga angin dan sirkulasi udara
berjalan dengan lancar. Adanya selasar sangat membantu terjadinya efek
penyejukan. Pintu masuk pada lantai dasar yang tidak bersekat, langsung
berhubungan dengan taman luar dengan tanaman juga memudahkan aliran udara sehingga
membuat pengunjung nyaman. Hal tersebut sangat sesuai dengan kriteria desain
arsitektur tropis. Dengan demikian Masjid At Tin dapat bersatu dengan alam alamiah.
ref:
1 Masjid
At Tin Indonesia
Design Vol.2 No.6/2005 hal 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar