28.10.12

Masjid At Tin, TMII



...................(lanjutan)
Menurut Seyyed Husein Nasr, prinsip unitas  (At Tauhid) sangat penting dalam arsitektur Islam. Masih menurut beliau, unitas terlihat pada cara berarsitektur Islam memperlakukan eksterior, ruang-ruang interior & pertamanan bangunan. Dalam arsitektur Islam, ketiganya merupakan faset dari satu realitas tunggal.4  Pada Masjid At Tin diterapkan prinsip unitas tersebut. Pada masjid ini, ada 2 modul dasar utama yang diulang-ulang pada setiap detail sudut masjid yaitu persegi dan bintang. Sebagai contoh, modul persegi yang merupakan modul awal dari modul anak panah yang banyak terlihat pada At Tin, jika diperhatikan secara seksama, akan terlihat pada detail bangunan seperti pintu utama, dinding-dinding eksterior maupun interior, penopang pergola, atap selasar terbuka. Sementara itu, modul persegi ini jika terbentuk oleh 2 persegi dan satu persegi diputar  45º, maka akan tercipta modul turunan yaitu modul bintang sederhana yang terdapat pada skylight kaca patri di atas sclupture menuju RSG, plafon, menara, pola lantai selasar terbuka, dll. Modul persegi yang belum mengalami penurunan dari modul awal pun terdapat pada bentuk denah ruang shalat, kap lampu depan ruang wudhu, list plafon, dll. Selain persegi, modul bintang yang lebih kompleks terdapat pada lampu taman maupun interior, railing, kap lampu gantung, kaca patri, pola lantai. Terbukti bahwa bangunan ini telah menerapkan kesatuan dalam memperlakukan ruang eksterior, interior, maupun pertamanan dengan kekonsistenan modulnya. Walaupun pada AR modern ruang-ruang tersebut didesain oleh manusia dengan spesialisasi menurut bidangnya masing-masing (desainer lanskap, desainer interior) namun, pada proyek bangunan ini, walaupun banyak spesialis, kerja sama yang baik diantaranya dapat membentuk bangunan yang mempunyai unitas.
Prinsip unitas juga terlihat dari kemajemukan fungsi 4. Maksudnya, dalam satu bangunan, fungsi dan kegiatan yang dilakukan di dalamnya dapat bermacam-macam.Sementara itu, dalam arsitektur modern, fungsi harus terdefinisi lebih dahulu, baru kemudian bangunan dibuat sesuai fungsinya. Jika menilik masjid At Tin, jelas bahwa masjid ini diterjemahkan dari klien yang ingin membangun bangunan berfungsi utama sebagai tempat shalat, mengikuti arsitektur modern, fungsi harus jelas. Namun pada kenyataannya, fungsi tersebut berkembang dan menjadi majemuk. Bangunan ini selain digunakan sebagai tempat shalat, ruang shalatnya saja digunakan sebagai tempat berdiskusi, membedah buku Islam, dan lainnya, tergantung kebutuhan. Sementara selasar yang mengitarinya, digunakan untuk bekerja dengan laptop, duduk-duduk menunggu adzan, bahkan tidur, walaupun dalam masjid ini ada larangan tidur dalam masjid. Selain selasar, pada At Tin juga terdapat RSG & perpustakaan. RSG sering digunakan untuk mengadakan pesta pernikahan, setelah pelaksanaan akad nikah di ruang shalat. Karena keunikan arsitekturalnya dan lokasinya yang strategis disamping jalan utama,  maka masjid ini juga dapat berfungsi sebagai icon bagi daerah sekitar & menjadi tempat hunting foto untuk fotografer. Selain itu, banyak sekali fungsi turunan dari masjid ini. Maka prinsip unitas dilihat dari kemajemukan fungsi terpenuhi okleh At Tin.
Unitas pun, menurut Nasr, berkaitan dengan perkawinan keindahan & fungsi atau utilitas yang demikian khas bagi semua seni Islam (termasuk arsitektur), seperti adanya hadits bahwa Allah itu indah dan mencintai keindahan. Namun,jika indahnya berlebihan, sudah melupakan ajaran metafisikal yang paling fundamental dari Al Quran dan hadits. 4 Unitas merupakan kesatuan dari estetika dan fungsi. Allah SWT menyukai keindahan yang berada di tengah-tengah, seimbang, sesuai dengan kemampuan & kebutuhan dan tidak berlebihan sehingga menjadi mubazair. Lalu bagaimana dengan masjid At Tin ini? Mayoritas orang yang sudah pernah mengunjunginya, majalah-majalah dan penelusuran internet akan mengatakan bahwa masjid tersebut memiliki tingkat estetika yang baik, dilihat dari keterpaduan ornamen, space frame yang memasukkan cahaya ke dalam bangunan dengan mengagumkan, kayu jati yang diukir sedemikian rupa, dll. Apakah estetika pada masjid ini sudah berlebihan & tidak sesuai dengan syariat? Mengenai hal tersebut, Fauzan Noe’man selaku Arsitek proyek dalam pendesainan masjid At Tin berujar, ‘Kemubaziran adalah hal yang sangat dihindari dalam pendesainan masjid karena akan mengarah ke riya, maka setiap perancangan haruslah disesuaikan dengan kemampuan, namun yang harus diingat nilai kemampuan tiap zaman dan tiap orang berbeda, ini harus dilihat sebagai sebuah kondisi progresif yang positif.’1 Menurut beliau, perancangan memang harus sesuai kemampuan dan tidak boleh mubazir, tetapi kita juga harus melihat bahwa parameter mampu pada tiap zaman dan owner dapat berbeda-beda. Misalkan, Masjid Salman ITB, dengan arsitek prinsipal yang sama dengan Masjid At Tin, Masjid Salman hadir dalam kondisi dan pemilik modal yang berbeda dengan At Tin. Salman dibangun sebagai masjid kampus yang pada kondisi waktu itu Indonesia sedang mengalami masa krisis sehingga tampilannya pun sederhana & tentu  tidak menggunakan budget sebesar At Tin yang dimiliki oleh seorang mantan pembesar negara. Juga menurut Bapak Achmad Noe’man, ‘Satu hal lain adalah masalah estetis. Islam mengajarkan bahwa sesungguhnya Allah menyukai keindahan hingga kita tidak perlu takut membuat sebuah mesjid yang indah sepanjang itu tidak mubazir, riya dan membuat takabbur.’1 Dari pemaparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa estetika pada Masjid At Tin tersebut masih dalam batas kewajaran dan tidak terlalu berlebihan mengingat owner sangat berkecukupan, maka tidak ada salahnya untuk membangun sebuah masjid yang karena estetikanya juga berfungsi sebagai salah satu icon arsitektur Islam di Indonesia untuk menumbuhkan kebanggaan umat akan karya arsitektur bagi masyarakat muslim. Selain itu, walaupun berdetail banyak ornamen, sebenarnya masjid At Tin juga memikirkan keefisienan ruang dan energi. Sebagai contoh, pemanfaatan ruang secara maksimal dapat dilihat di bawah tangga utama masjid yang dijadikan laci penyimpanan dan sebagian digunakan sebagai selasar. Banyaknya bukaan pada setiap ruangannya juga memungkinkan untuk tidak memakai penghawaan buatan, namun pengunjung tetap merasa nyaman berada di dalamnya. Lagipula, detail- detail obek berornamen kesemuanya mempunyai fungsi bagi bangunan tersebut yaitu sebagai penerangan, akses masuk, dll.
Selain prinsip unitas, menurut Sayyed Husein Nasr, dalam arsitektur Islam juga terdapat prinsip realisme yang mengandalkan sudut pandang yang memandang setiap realitas wujud pada tingkatannya sendiri & sebagaimana mereka adanya. Maka prinsip tersebut memperlakukan bahan sebagaimana adanya, bukan sebagai apa tampaknya.4 Berkaitan dengan teori tersebut, mengenai At Tin, Bapak Achmad Noe’man pun mengatakan,’Keindahan dapat muncul dari kejujuran. Urat-urat pada kayu jati merupakan contoh kejujuran bahan sebagai keindahan alam. Begitu juga dengan cahaya yang diciptakan Allah. Bisakah Anda bayangkan sebuah karya arsitektur tanpa cahaya?’ 1. Objek-objek yang terdapat pada Masjid At Tin, walaupun diulik & diberi banyak ornamen, banyak diantaranya yang masih memegang keindahan dalam kejujuran. Sebagai contoh, menurut Bapak Noe’man, bahan pintu utama yang menggunakan kayu jati, walaupun diulik, urat-uratnya, warna coklat kayu masih dapat dirasakan sebagai kejujuran. Pemberian ornamen cungkil pada kayu tersebut bisa menjadi sebuah kejujuran lain bahwa pemanfaatan karakter kayu dengan dicungkil, bukan di las seperti karakter baja. Space frame yang terlihat dari ruang interior juga merupakan salah satu bentuk kejujuran. Profil baja sangat terlihat di sana, begitu juga cahaya yang dibiarkan masuk melewati kaca patri pada space frame maupun skylight di tempat lain pada bangunan tersebut, menampakkan kejujuran cahaya yang berganti-ganti arah tergantung dari arah matahari.
Prinsip ketiga menurut Nasr adalah kesatupaduan dengan tataan alami. Masjid bukan ruang suci yang terpisah dari ruang alam, tetapi adalah ke arah lingkungan buatan manusia. Arsitektur Islam memanfaatkan sepenuhnya cahaya dan bayangan, kehangatan dan kesejukan, angin dan sirkulasi, air dan efek penyejukan, dan tanah.4
Karya arsitektur harus bersatu dan dapat berbaur dengan keadaan alam di sekelilingnya. Mengenai cahaya dan bayangan, telah disebutkan sebelumnya. Pendesainan At Tin sangat peka terhadap cahaya. Kehangatan dan kesejukan dari desain At Tin dapat dicermati dengan bangunan ruang shalat yang lebih tertutup, terlindungi, dan cahaya pada space frame dan relung-relung pintu membuat ruangan terasa hangat namun tetap sejuk, sementara, makin ke sisi luar, lebih terbuka sehingga angin dan sirkulasi udara berjalan dengan lancar. Adanya selasar sangat membantu terjadinya efek penyejukan. Pintu masuk pada lantai dasar yang tidak bersekat, langsung berhubungan dengan taman luar dengan tanaman juga memudahkan aliran udara sehingga membuat pengunjung nyaman. Hal tersebut sangat sesuai dengan kriteria desain arsitektur tropis. Dengan demikian Masjid At Tin  dapat bersatu dengan alam alamiah.

 ref:

1 Masjid At Tin Indonesia Design Vol.2 No.6/2005 hal 20.
3  Arsitektur, Gatra Edisi Khusus. Beredar: 27/12 2005. http://www.gatra.com/2005-11-07/versi_cetak.php?id=89520, diakses 19 Mei 2009: 01.30 pm

4 Konsep, Gagasan, Interpretasi & Kriteria Arsitektur Islami. Bahan Materi Kuliah AR 4231.
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar