28.10.12

Campus Centre: Antara Puisi, Semangat Mahasiswa dan Ruang Tersembunyi





Campus Centre ITB, bangunan transparan yang berpadu dengan warna putih ini terletak pada sumbu utama master plan ITB.  Modern, arsitektur Internasional, itulah kata-kata yang tepat mencerminkan style-nya. Massanya berbentuk kotak, atapnya diberi kesan datar, sementara kaca mengelilingi fasadenya. Bentuk ini membuat CC terasa sangat kontras dengan lingkungannya. Dari gerbang utama, berjalanlah lurus ke arah selatan, dengan iringan pepohonan boulevard kita akan sampai juga disana. Belum genap satu dasawarsa, ia berada di sana, begitu muda diantara saudara-saudaranya yang lain. Jika bangunan sekitarnya terpatri pada kesahajaan arsitektur yang khas tradisional Indonesia, dengan unsur atap yang dominan dan kolom-kolom dengan material batu kali, maka ia berdiri dengan kesahajaan yang berangkat dari sisi modern. Konsep seperti apa yang mendasarinya?
Menurut Baskoro Tedjo selaku arsitek utama dari bangunan tersebut, Campus Centre direfleksikan menjadi pintu gerbang kedua setelah gerbang utama ITB yang terletak di sisi selatan. Hal yang menarik, gerbang utama dengan jam pada bagian atas dan sepasang atap penerima datar tanpa dinding yang mengapitnya itu lantas menjadi inspirasi sang arsitek dalam mendesain Campus Centre. Bangunan Campus Centre juga dibagi menjadi dua sayap, sayap barat dan sayap timur, dengan rotunda di tengahnya.
Selain mengacu pada gerbang utama ITB, ide desain bangunan ini juga didasari oleh konsep dasar master plan ITB yang sirkulasi utamanya bersumbu utara-selatan dan mengarah ke Tangkuban Perahu. Ketinggian atap rotunda sengaja didesain sejajar dengan lantai sebagai area sirkulasi penghubung antara CC barat dan CC timur agar arah pandang ke arah Gunung Tangkuban Perahu tidak terhalang.
Menurut arsiteknya pula, konsep Campus Centre sebagai gerbang kedua ITB memungkinkannya mempunyai tampak yang berbeda dengan lingkungan sekitar namun tetap kontekstual. Konsep tersebut lalu mendasari pemilihan style modern pada bangunan yang terletak pada perbatasan antara zona bangunan konservasi di sisi utara dan zona bangunan peralihan di sisi tengah ITB ini.

Dilihat dari sudut pandang penulis, konsep CC terasa begitu puitis. Saat berjalan di boulevard, jika kita memandang ke utara, pandangan mata kita akan tertuju pada gunung tangkuban perahu dengan sepasang atap labtek kembar yang membingkainya dan membuat mata kita fokus ke view di tengah. Lalu di mana bangunan CC-nya? Awalnya tak terlalu terlihat, karena di kanan kiri didominasi oleh pepohonan hijau. Namun, ketika kita mulai mendekat ke arah Tangkuban Perahu, akan terlihat atap datar CC sayap barat-timur membingkai Tangkuban Perahu dan sepasang atap labtek kembar tersebut.
CC putih itu ‘bersembunyi’ di balik pepohonan seakan bercerita ‘Jangan lihat aku dahulu, silahkan lihat dahulu pepohonan dan gunung karya Sang Pencipta. Ya, ternyata bangunan CC ini dibuat lebih mundur dari labtek kembar sehingga perpaduan tersebut menjadi suatu pemandangan yang ‘berpuisi’. Kesatuan ini menyiratkan bahwa bangunan dengan semangat tradisional dan modern dapat berjalan beriringan untuk menguatkan karakter alam yang diciptakan Tuhan, bahkan gabungan diantaranya dapat menjadi salah satu sudut yang mampu mempresentasikan ITB. Arsitektur yang baik akan bersenandung berirama dengan segala sesuatu sekitarnya, alam, bangunan lain, manusia dan segala bentuk yang ada di lingkungannya. Sementara itu, ternyata bangunan baru tidak harus mempunyai style yang sama dengan eksisting. Dengan pendekatan kontras dapat pula dihasilkan paduan desain yang menarik.
Dalam makalahnya, ‘Tradition and The Individual Talent’, T. S Elliot menekankan proses dalam seni dan menemukan nilai dalam tradisi. Elliot mengemukakan sebuah puisi tercipta dari keremajaan yang menemukan relasinya diantara individu dengan tradisi dengan komunitas intelektualnya. Sementara itu J.J Rousseau mengungkapkan bahwa mediasi diantara individu dan lingkungannya dengan mementingkan konteks dalam beraksi itu menjadi penting. Kebebasan moral yang tak teraba secara fisik diperoleh dengan interaksi dengan lingkungan, membuat manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri.1
Jika dihubungkan dengan bangunan CC, ungkapan dua ahli tersebut dapat dimaknai sebagai penguatan dukungan atas perlunya CC sebagai individu untuk memperhatikan tradisi lingkungannya. Singkat kata, desain CC  dapat mengikuti tradisi sumbu utara selatan ITB dan responsif terhadap eksisting sehingga ia mampu berdialog dengan komunitas di sekelilingnya.
 ‘Puisi’ lain yang diberikan bangunan CC tampak lebih terlihat pada malam hari. Saat langit gelap dan bangunan tersebut terang benderang karena penerangan di dalamnya yang tertembus sempurna karena dominasi material kaca pada dindingnya, ia bukan menerangi dirinya sendiri. Dirinya sering terlihat dari luar tak berisi manusia pada malam hari. Ia menerangi pepohonan sekitarnya yang telah berjasa memayunginya dari sinar matahari dan hujan serta membuat pepohonan tersebut terasa lebih hidup.
Sementara itu, dari segi fungsi, penerapan konsep selasar pada CC tergolong berhasil, terbukti pada hari kerja maupun libur terdapat para mahasiswa yang melakukan aktivitas bervariasi pada selasarnya. Kondisi ini dapat memberikan ide bahwa masyarakat yang tinggal pada daerah dengan iklim tropis, adanya tempat informal yang terbuka merupakan kebutuhan publik yang perlu mendapat perhatian dalam proses merancang.
Sebagai pengguna utama, mayoritas mahasiswa ITB menggunakan Campus Center sebagai area untuk mengerjakan tugas individu dan kelompok dan sarana bersosialisasi antar mahasiswa, baik formal maupun informal. Kegiatan sosialisasi ini tak hanya sebatas bersenda gurau, namun juga berdiskusi terkait organisasi kemahasiswaan, bahkan mengenai keilmuan seperti mengadakan percobaan dan penelitian kecil. Aktivitas mahasiswa tersebut biasanya dilakukan di selasar CC barat-timur serta student lounge yang terdapat pada semi basement CC barat.
Selain itu, dengan adanya ruang latihan bersama unit ekstrakulikuler, mahasiswa sering mengadakan latihan di CC. Unit yang mempunyai ruang di CC sebagian besar adalah unit kesenian yang memang membutuhkan tempat luas dan aman untuk menyimpan alat-alat musik seperti student orchestra, paduan angklung, persatuan tari dan karawitan, marching band, dll. Unit-unit tersebut juga memerlukan tempat khusus berlatih karena alat musiknya yang spesial tersebut dan kebutuhan ruang dengan akustik yang baik.
Fungsi lain yang terdapat di CC adalah kantor pengurusan administrasi dan pusat pelayanan publik yang terdapat di CC sayap barat semi basement, kafetaria yang berfungsi ganda sebagai bookstore (UBC), galeri, ruang serba guna dan ruang-ruang fasilitas penunjang yang pada perkembangannya dialokasikan sebagai sekretariat Keluarga Mahasiswa, sekreteriat kongres dan tim beasiswa.
Penulis telah mengadakan wawancara maupun meminta para pengguna bangunan CC yang terdiri dari mahasiswa, karyawan, petugas keamanan untuk mengisi kuesioner mengenai kenyamanan pengguna terkait dengan aktivitas dan fungsi bangunan CC.
Berdasarkan penelusuran tersebut, menurut sebagian pengguna, CC sebagai campus centre telah mewadahi aktivitas mereka dengan baik. Alasan mayoritas pengguna yaitu bangunan CC saat ini telah menjadi pusat kegiatan mahasiswa di luar kuliah, sesuai dengan fungsi campus centre. Tempat yang berhasil mewadahi aktivitas mahasiswa ini terutama terpusat pada selasar dan student lounge CC Barat. Para pengguna senang berada di tempat tersebut karena dapat merasakan kesejukan udara di sana dan lebih leluasa berkegiatan dengan area yang luas. Sementara itu, salah seorang responden yang belum merasa terwadahi mengatakan bahwa CC sebagai pusat kegiatan mahasiswa belum dapat menampung kebutuhan tersebut karena pada bangunan CC lebih dominan kantor-kantor dan area makan. Selain itu, masih ada pengguna yang merasa kurang nyaman dengan konsep ruang dalam CC yang terlalu terbuka mengingat adanya fungsi agak privat seperti kantor di dalamnya. 
Setelah menelusuri tanggapan pengguna dipadu dengan keilmuan arsitektur, pada satu sisi penulis berpendapat CC merupakan desain yang sangat responsif dalam menanggapi kecenderungan perilaku pengguna utama yaitu mahasiswa. Konsep selasar yang merupakan area informal mampu menangkap kecenderungan masyarakat tropis untuk berkumpul di daerah terbuka. Namun di sisi lain, adanya ruang-ruang berdinding kaca dengan fungsi ruang agak privat membuat pengguna merasa kurang fokus untuk berkegiatan di dalamnya.
Sementara itu, pada bangunan CC ini kelihatannya ada beberapa ruang yang kurang termanfaatkan dengan baik oleh para penggunanya sehari-hari. Ruang seperti pre-function galeri di basement CC timur, ruang bawah tangga, dan area kolam yang dibiarkan kering karena biaya perawatan yang mahal menjadikan ruang tersebut kurang ‘hidup’ dan kondisinya kurang terawat. Mungkin ruang-ruang tersebut terletak pada lokasi yang agak tersembunyi sehingga menyebabkan penurunan fungsi.
Jika disimpulkan, bangunan Campus Centre ITB mempunyai konsep yang sangat menarik. Pemilihan ide dan menerjemahannya dalam bangunan tersebut menjadikannya mampu merespon dengan baik lingkungan sekitarnya, baik topografi, bangunan eksisting, pengguna maupun makhluk hidup lain. Terkait dengan fungsinya sebagai pusat aktivitas kampus, CC telah menemukan fungsinya, namun belum seutuhnya karena beberapa sisinya masih belum ‘hidup’ dan belum dipergunakan dengan baik oleh penggunanya. Namun, CC tetap dibutuhkan setiap penggunanya sebagai tempat untuk melakukan berbagai macam pembelajaran, bukan hanya secara akademis, tetapi juga sebagai sarana bermasyarakat, menumpahkan pemikiran dan belajar berkontribusi demi kehidupan esok yang lebih cerah. Maka hitunglah betapa besar kontribusi arsitek demi hidup Indonesia yang lebih baik saat karya yang dirancangnya dipergunakan untuk belajar membangun bangsa.


Ref: 1 http://www.arch.umd.edu/Arch400/ARCHITECTURE_on_CAMPUS.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar